Problematika pendidikan di
Indonesia seolah tak ada habisnya. Entah apa sebenarnya yang diinginkan oleh
pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan Nasionalnya, yang pasti
untuk mengatakan mereka telah memperjuangangkan pendidikan dan hak-hak warga
Negara untuk belajar, masih jauh dari yang diharapkan. Pemerintah memang tidak
menghalangi warganya untuk belajar dimana saja, hanya saja penghargaan dan
pengakuan terhadap semua warganya yang juga belajar dan mengajar tak diberikan
secara berimbang.
Pemerintah masih suka
membeda-bedakan antara sekolah negeri dan swasta. Padahal mereka sama. Sekolah
swasta itu juga sekolah yang mempunyai visi dan misi yang sama. Tujuan untuk
mencerdaskan bangsa sebenarnya juga bukan hanya pendidikan yang berlebel sekolah.
Jauh-juah hari sebelum adanya sekolahan, tunas pendidikan di Indonesia telah
tumbuh subur dengan berbagai macam gaya. Pesantren adalah salah satu bukti
bahwa pendidikan itu dari dulu telah ada. Bahkan sekarang pun mereka masih
eksis dengan bendera dan gaya lamanya.
Dan jika mau menengok
lebih dalam lagi, justru tempat belajar yang benar-benar mempunyai dedikasi
yang tinggi adalah pesantren. Pemerintah seakan buta dan tak dapat melihat mana
yang punya dedikasi untuk mencerdaskan bangsa dan mana yang sebenarnya hanya
penjilat yang hanya berkedok manis di depan mata. Pemerintah juga terlalu
terpesona dengan angka-angka dan predikat yang disandang mereka.
Yang lebih memalukan
penerimaan pegawai negeri di Indonesia ini justeru terkalahkan dengan seleksi penerimaan
wartawan. Di dunia jurnalistik, mereka yang tak mempunyai dedikasi, tak
berbekal ketangguhan menghadapi beratnya tugas mustahil diterima. Andai pun
lolos seleksi, kecuali orang yang mempunyai daya juang dan ketangguhan yang
tinggi tak akan kuat bertahan lama.
Sedangkan untuk guru di
Indonesia dari sekian banyak jumlahnya masih sangat perlu untuk dipertanyakan,
apakah mereka mempunyai dedikasi itu. Sebab selain praktik di lapangan yang
sedikit pun tak tampak kesungguhan pengajaran dari mereka, cara masuk mereka
pun penuh pratik korupsi. Jika perjuangan untuk dapat mengajar saja mereka
mengeluarkan biaya, mereka pun menganggap wajar praktek pengembalian modalnya. Padahal
sebagaimana kita tahu bahwa dedikasi adalah hal yang mutlak pentinganya.
Apalagi dalam hal mengajar dengan visi agung mencerdaskan bangsa. Mustahil
untuk mencapai visi itu tanpa dedikasi yang tertanam dalam jiwa.
Selain paparan di atas yang
perlu dipertanyakan kepada pemerintah untuk menindak lanjuti niat mencerdaskan
bangsa adalah pelestarian budaya. Untuk kasus ini jangankan membantu eksisnya
warisan budaya lama, untuk mengakui bahwa mereka juga ikut andil dalam
mencerdaskan bangsa mereka masih memandang sebelah mata.
Sedangkan yang diluar
sana, penjilat-penjilat berseragam banyak berkeliaran dan mendapat berbagai
penghargaan. Mereka yang bangganya dengan predikat Pahlawan Tanpa Tanda Jasa dengan
tanpa tedeng aling-aling meminta kenaikan gaji. Bahkan pungutan kelas adalah
hal lumrah terjadi diantara mereka. Bukankah kita semua tahu, selain telah
mendapatkan gaji, sekolah yang mereka asuh telah mendapat kucuran dana (dalam
hal ini BOS) dari atasan. Lantas pahlawan seperti apa ini?
Kembali ke pesantren, jika
alasan mereka pesantren tidak mau berubah, dalam arti tidak mau memenuhi
permintaan mereka untuk memasukkan pelajaran formal sebagai alasanya, maka
dapat disimpulkan demikian. Pertama; hal itu hanya menampakkan sifat arogan
mereka. Mereka tidak terbuka dan hanya yang sesuai dengan mereka saja yang
mereka akui dan memilih untuk mengesampingkan kesamaan hak (keadilan) antara seluruh
warga Negara yang semestinya juga harus dijunjung tinggi sebagaimana prisnsip
pancasila.
Kedua; jika mereka masih
menganggap bahwa dengan tidak memasukkan pelajaran formal pesantren kolot dan
tidak tahu-menahu perkembangan zaman, yang perlu mereka lakukan adalah
membersihkan telinganya supaya mendengar dan memasang kaca mata yang lebih
besar agar mereka dapat melihat fakta riilnya. Atau yang terakhir; mungkin
mereka sudah tuli dan buta, maka masih pantaskah mereka dijadikan pemimpin yang
dijadikan nahkoda untuk membawa bangsa ini untuk lebih maju?
Dan tampaknya justru
kemungkinan terakhir ini yang terjadi pada mereka. Mereka telah terbutakan
dengan angka-angka dan bungkus yang mudah dimanipulasi. Dan yang lebih
mengherankan lagi, meski mereka tahu bahwa angka-angka dan bungkus yang tertata
indah itu telah membohongi mereka, mereka masih saja merasa aman dengan
bungkusan indah itu. Lalu dikemanakan sifat logis mereka? Bukankah kaum
intelektual seperti mereka selalu mengandalkan pikiran logisnya?