Kenapa Harus Marah?

“Jangan berfikir apa yang akan diberikan orang lain kepadamu. Tapi berfikirlah apa yang bisa kamu berikan kepada orang lain.” Demikian orang bijak pernah bertutur. Lalu apa hubunganya dengan judul di atas?
Bila kita telisik tentang apa yang menjadi penyebab utama kemarahan seseorang, kita akan tahu makna implisit kalimat di atas. Seorang yang sibuk memikirkan kekurangan orang lain terhadap pemenuhan dirinya-lah yang akhirnya membuat dirinya sempat untuk memikirkan apa yang orang lain berikan kepada dirinya, atau kenapa orang lain tersebut tidak mewujudkan apa yang dia inginkan? Padahal belum tentu orang tadi telah mengetahui keinginannya.
Sesungguhnya,  penyebab kemarahan  terletak kepada keinginan yang tak terpenuhi dari orang yang merasa perlu untuk marah. Itupun belum tentu kemarahanya akan menghasilkan kebaikan atau manfaat baginya. Sedangkan dampak negatifnya tentunya ada. Di sadari atau tidak. Mengapa?
Meskipun dalam pengungkapan suatu emosi selalu besertaan dengan keluarnya hormone sters –yang tentunya sangat bermanfaat bagi pemiliknya, namun alangkah lebih manfaatnya bila menahan kemarahan itu sendiri, yang notabene sebagai penyebab utama reproduksi hormon yang sangat membahayakan bagi tubuh manusia ini.
Pun pengeluaran hormon yang tidak klimaks menjadikannya tetap bercokol dalam tubuh, dan siap membuat menderita pelakunya.
Bila kita coba untuk menerapkan kaidah fiqh, kita akan ketemu kalimat, “al-Daf’u aula min Ar-raf’i,” atau sering kita kenal dalam istilah kedokteran dengan, “Mencegah lebih baik daripada mengobati.”
Namun manusia memiliki tabiat sebagai makhluk yang selalu merasa kurang. Wajar bila keinginan melampiaskan kemarahan sering muncul. Yang disayangkan sesungguhnya adalah; kenyataan ini dianggap sebagai sesuatu legalitas untuk tetap mengeluarkan kemarahan. Meski sudah hidup berpuluh-puluhan tahun untuk mencari dan memahami kawruh sangkan paraning dumadi.
Sebab kenyataan yang ada, sesuatu yang semestinya menjadi prioritas bagi makhluk yang dibekali akal oleh Yang Kuasa tersebut, diabaikan begitu saja. Orang yang terlau ‘qona’ah’  berfikir; jalani saja hidup apa adanya, tidak perlu memikirkan buat apa hidup ini. Dari mana dan akan kemana selanjutnya.
Atau terfikirkan, namun memilih cuek untuk tidak mau menanggapi.  Masih merasa terlalu jauh untuk mulai memikirkannya. Memikirkan pun hanya terlintas bagai angin lalu belaka. Tidak perlu atau merasa tiada gunanya. Toh orang yang tidak pernah memikirkan sekalipun tetap bisa hidup dengan sewajarnya.
Secara tidak sadar yang sering terjadi, seseorang masih memelihara sifat kekanak-kanakannya. Meraka menginginkan semua berjalan seperti kehendaknya. Oleh karenanya, dia menganggap ada orang yang melecehkan, tidak menghargai, atau sengaja menghinanya.
Contoh mudahnya seorang atasan marah-marah pada bawahannya tatkala dia tertidur saat sidang berlangsung. Dalam pandangan atasan hal ini tentulah sebagai pelanggaran yang harus mendapatkan teguran bahkan sangsi yang berat.
Sementara atasan tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi pada bawahan tadi. Bisa saja dia sedang mendapat permasalahan yang berat, sehingga menuntutnya untuk begadang semalaman demi keperluan tersebut.
Yang disayangkan, kasus seperti ini sering terlaku dan dianggap biasa saja. Tanpa mempedulikan apa yang sedang terjadi terhadap bawahannya. Sehingga bawahan yang sesungguhnya memerlukan dukungan dan jalan keluar, malah ditambah beban.
Melihat kondisi demikian kiranya kita perlu koreksi lebih dalam berkaca kepada dunia sekitar kita. Yakni bahwa sesuatu tidak mesti harus sejalan dengan kehendak kita. Banyak ­­–bahkan harus terjadi– apa yang terjadi tidak seperti yang kita inginkan.
Ketika melihat pohon kelapa yang mulai berbunga kita bangga melihat begitu banyak calon buah yangg akan muncul. Otomatis kita mengharapkan semua bunga akan menjadi buah yang sempurna, seakan tidak sadar akan keadaan yang akan terjadi ketika semuanya berubah menjadi buah.
Kita kurang menyadari opsinya ketika hal itu terjadi. Mungkin buah yang terlalu kecil atau tangkai yang tak mampu menanggungnya lagi. Tidak mungkin semua akan sempurna seperti yang kita inginkan. Karena kesempurnnaan tidak diciptakan untuk dunia ini.
Akhirnya apa yang meski terjadi, biarlah terjadi. Karena bukan jatah kita untuk menentukan ini atau itu yang harus terjadi. Kita hanya diberi kesempatan untuk merubah sesuatu yang bisa dirubah.
Kalau sudah demikian tinggal kita hayati judul di atas, “Kenapa Harus Marah?” Apa perlu dan untungnya bagi kita? Mari kita renungkan kembali!