Di Balik Gedung Madrasah Kita

Memasuki wilayah Lirboyo bagi penulis adalah pengalaman yang sangat indah dan  takkan terlupakan sepanjang masa. Dari berbagai Ras, Suku, dan bahasa terkumpul di dalamnya. Mungkin itulah di antara alasan mengapa tidak akan terlupakan selamanya !
Lirboyo ! Dari namanya saja seolah (kalau tidak boleh dikatakan telah) menunjukkan betapa besar dan wibawanya ia. Dulu, ketika pertama kali menjejakkan kaki di Lirboyo, penulis belum begitu merasakan, juga belum banyak mendengar kebesaran nama itu. Adalah luas tanah dan besar bangunannyalah yang mengagumkan untuk ukuran sebuah pondok. Apalagi latar belakang Lirboyo yang  masih tergolong salaf.
Uniknya lagi santri baru seolah sengaja dibuat bingung, untuk menghafal  tempat-tempat dan gedung Pondok maupun Madrasahdi luar kewajiban untuk bersekolah tentunya. Mungkin hal itu juga dirasakan oleh seluruh (teman-teman) santri baru. Terlebih bagi  penghuni pondok lama. Pergi dan tak tahu harus kembali kemana –bingung mencari di mana kamarnya, kadang menghiasi goresan indah pengalamannya.
Al Ikhwan, al Ihsan, an Nahdloh, al Ittihad, untuk menghafal nama-nama itu mungkin terasa mudah bagi orang yang sudan lama, bagi santri baru itu ternyata juga butuh beberapa waktu sampai tidak tertukar-tukar lagi. Yang menjadi pertanyaan, pernahkah terlintas di fikiran kita, apa dan mengapa gedung itu dinamai dengan nama-nama itu ?
 Secara pasti apa arti dan tujuan penamaan dengan nama itu tentunya yang tahu hanya yang memberi nama itu sendiri. Yang jelas semua deretan nama-nama itu bukan tanpa arti. Bahkan kami yakin sarat akan makna.
An Nahdloh
Pada jenjang awal kita menghadapi Tsanawy –awal kita sekolah malam, kita ditempatkan di gedung ini. Gedung an Nahdloh. Gedung kebangkitan. Gedung perjuangan.
Di jenjang awal ini, gedung yang kita tempati terus menerus mengingatkan kita untuk bangkit dari keterpurukan, dari kemalasan, dan dari sifat negatif lainnya. Tak bosan-bosannya ia mengingatkan kita untuk terus menerus berjuang. Maju menghadapi segala tantangan.
Bagi yang baru, mungkin peringatan itu berbunyi; “Tataplah masa depanmu yang cerah. Jangan kau toleh lagi bagaimana kehidupanmu di rumah. Yang di rumah biarlah di rumah. Tetap di sana. Kamu kini harus berjuang. Terus maju. Taklukan dunia. Taklukan masa depanmu !”
Bagi yang dari Ibtida’,  bunyinya mungkin berbeda; “Jangan kamu biarkan kesemangatanmu terkikis oleh lamanya –mungkin menurut sebagian orang waktu belajar  tiga tahun sudah dianggap lama, kamu di sini. Itu semua belum apa-apa. Justru saat inilah kamu harus bangkit. Mengukir karir dan pengalaman yang lebih menantang. Tidak cukup sampai di situ. Teruslah maju !”
Al Ittihad
Kebangkitan takkan kokoh tanpa persatuan. Tanpa komitmen yang kuat. Untuk itu, kita di tempatkan di gedung al Ittihad. Gedung persatuan. Gedung komitmen. Satu asa, satu tujuan, apapun akan kita hadapi bersama.
Artinya setelah bangkit, kita harus segera menentukan arah. Kembali menguatkan komitmen untuk tetap bangkit. Dan kekuatan komitmen itu bisa benar-benar kokoh bila kita hadapi bersama. Kita bersatu.
Bangunan takkan pernah berdiri tegak tanpa adanya keinginan untuk mendirikannya (bangkit). Setelah ada keinginan pun harus ada tujuan yang jelas, sekaligus percampuran (menyatukan) berbagai bahan.
Al Ikhlash
Di awal kita masuki kelas tinggi –kelas Aliyah, kita mulai diajarkan untuk ikhklas. ikhlas dalam segi apa ? Setoran, ta’zirankah, ataukah yang lain ! Tentunya dalam segala-galanya. Termasuk dalam beribadah dan semua hal.
Saking sulitnya berperilaku ikhlas ini kita bahkan ditempatkan di gedung ini selama dua tahun. Selama kelas satu dan dua tak lain hanya supaya kita mengerti dan mengamalkan bagaimana kita harus ikhlas dalam setiap hal. Supaya dalam prakteknya tidak lagi setengah-setengah.
Al Ihsan
Setelah pondasi ikhlas lulus, kita baru diingatkan untuk belajar bagaimana kita harus berperilaku ihsan. Berbuat akan kebaikan. Dari sinilah mulai muncul berbagai pertanyaan, akan siapa dan untuk apa kita hidup ini. Benarkah kita cukup dengan hanya menjalaninya saja ? Jika iya, jika kita hanya tahu bagaimana cara kita akan menyambung hidup, lantas apa bedanya dengan ayam ?
Jenjang ini adalah jenjang terakhir kita duduk di Lirboyo sebagai siswa. Sebab selanjutnya jika kita masih haus akan keilmuan Lirboyo kita mau tidak mau harus menjadi pengajar, atau paling tidak pengurus yang membantu kelancaran berlangsungnya belajar mengajar.
Untuk itu ihsan sangat dibutuhkan, terlebih bagi yang akan meninggalkan pondok tercinta ini. Sebagai bukti juga wujud terimakasih atas segala yang mereka dapatkan selama ini.
Dan tentunya dengan berbekal ikhlas, amal kebaikan kita akan berbuah kebaikan pula. Sebab tanpa keikhlasan kebaikan yang telah kita lakukan hanya sia-sia. Tak lebih dari kesemuan belaka. Bahkan kadang bisa fatal akibatnya.
Inilah jenjang yang sangat dinanti-nantikan seluruh santri. Meskipun kita sudah belajar ikhlas –yang berarti juga tidak mengharapkan ijazah an lain sebagainya, namun begitu shorih (jelas) apa yang selalu disampaikan masyayikh saat sowan, terutama di awal tahun. Yaitu untuk menamatkan Lirboyo.
Dalam dari itu, pelaksanaan ihsan yang sesungguhnya juga tidak semudah membalik telapak tangan. Perlu pengorbanan dan perjuangan yang tak sedikit. Dengan demikian bagi yang sudah tamat, namun belum berperilaku ihsan, masih perlu itanyakan lagi, (tanpa maksud menghakimi) sudah pantaskah ia mengaku sebagai tamatan Lirboyo ?
Mudah-mudahan –dan itulah harapan kita semua– kita bisa membawa dan mengemban beban berat, memikul keagungan dan kebesaran nama Lirboyo. Amin !!!
Lantas di manakah barokah yang dulu juga pernah kita tempati ? Tentunya pembaca telah mafhum sekarang milik siapa dan siapa yang pantas mendapatkan barokah itu ?