Dicari! Pendidikan (ber)Karakter

Peristiwa contekan massal yang terjadi di SDN Gadel II Surabaya beberapa waktu lalu menjadi headline berita cetak maupun elektronik. Kasusnya sebenarnya ‘cukup sepele’. Ada guru yang menunjuk siswa yang pintar untuk nantinya dijadikan sumber jawaban bagi siswa-siswa lainnya. Dibilang ‘sepele’ karena budaya contek-menyontek seperti ini bisa dikatakan sudah akrab dengan kita. Jujur, pembaca ‘pasti’ pernah melakukan perbuatan curang ini, walaupun hanya sekali. Karena itu sepertinya kita, teman-teman lain dan masyarakat Indonesia pada umumnya sudah lumrah dengan jalan pintas tersebut.
Yang membuat berita ini begitu menyedot perhatian media adalah keberanian Siami, Ibu Alif, siswa yang menjadi korban pemusatan jawaban ini, mengungkapkan uneg-unegnya ke instansi-instansi pendidikan. Mulai dari sekolah anaknya, Dinas Pendidikan Surabaya, hingga Dinas Pendidikan Nasional. Dengan lantang ia berani berkoar bahwa anak dan dirinya terdzalimi oleh perbuatan tersebut. Lucunya curhat Siami ini malah direspon buruk oleh tetangga-tetangganya sesama warga Gadel. Mereka menyalahkan sikap Siami yang dianggap terlalu membesar-besarkan masalah, mengadakan demonstrasi di rumahnya, hingga puncaknya mengusir keluarga Siami yang dinilai telah mencoreng nama baik desa dan SDN II Gadel.
Judul berita koran yang memberitakan kasus ini kiranya memang bisa menjadi cermin wajah pendidikan dan bangsa Indonesia sekarang ini, jujur malah ajur. Benarkah masyarakat kini mulai kehilangan hati murani? Juga apakah karakter Indonesia kini memang sudah berubah, yang dulunya terkenal ramah, sopan, dan cinta kejujuran?
Sepertinya tidak. Terbukti dari sekian respon yang diberitakan media, semua masih pada satu kesimpulan, sepakat bahwa contek-menyontek adalah tidak baik, hanya akan menanamkan bibit korupsi di hati anak didik.
Dari peristiwa tersebut, seorang tokoh pemerhati anak (komisi perlindungan anak), Seto Mulyadi, memberi komentar, bahwa pendidikan karakter yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah telah gagal. Pelaku pendidikan selama ini masih juga berkutat pada pendidikan yang berorientasi nilai, bukan berbasis moral. Para siswa dituntut untuk mengejar angka terbaik, hingga secara tak sadar meninggalkan jauh moral yang sebenarnya menjadi tujuan utama. Karenanya tak heran jika dalam pencapaian angka tersebut selalu dibumbui dengan cara-cara yang tak bermoral. Lewat jalan pintas, belajar instan, menyontek, dll.
Bisa disimpulkan komentar kak Seto memang bukan mengada-ada. Pendidikan Indonesia yang menjadi pembekal generasi pemangku negerinya kian jauh dari karakter bangsanya sendiri. Yang kata orang gemah ripah loh jinawi dengan masyarakat ramah, gotong royong dan jujur.
Namun jika boleh bertanya, apakah benar pendidikan karakter selama ini tidak berhasil? Apa memang benar tidak ada sarana pendidikan yang lebih mengedepankan moral? Sebelum menjawab pertanyaan tersebut ada baiknya kita mengetahui latar belakang sejarah pendidikan bangsa kita.
Menurut Gus Mus, sistem pendidikan di Indonesia bukanlah asli buatan bangsa kita sendiri. Namun merupakan warisan kolonial yang telah bertahun-tahun menjajah bumi pertiwi, yakni sekulerisme, paham yang memisahkan aspek dunia dan agama. Ini bisa dilihat dari lembaga pendidikan yang dikeluarkan pemerintah. Yang unik, ada dua lembaga pendidikan yang kelihatannya berbeda, namun pada dasarnya sama-sama menjadi media pentransfer ilmu, yaitu sekolah dan madrasah. Yang membedakan keduanya, sekolah identik dengan ilmu-ilmu umum seperti matematika, bahasa inggris, biologi, dll. Sedangkan madrasah lebih menonjol pelajaran-pelajaran keagamaannya, seperti al Qur’an, hadits, fiqh, dll.
Dampak dari pemisahan itu outputnya kurang sempurna. Lulusan sekolah biasanya keilmuannya tinggi-tinggi, namun kering akan nilai agama, dan sebaliknya keluaran madrasah mempunyai pengetahuan agama lebih , tapi wawasan ilmunya kurang.
Padahal dua hal tersebut adalah satu kesatuan yang tak bisa dipisah. Hakikatnya semua itu adalah ilmu. Yang mana sudah menjadi konsekuesi wajib bagi orang-orang yang merasa mempunyai akal untuk mencarinya. Lantas bagaimana pemecahannya?
Al ghozali dalam Ihya Ulumuddin juga az Zarnuji dalam Ta’limul Muta’alim telah memberikan solusi jitu. Disebutkan bahwa hukum menuntut ilmu adalah fardhu (wajib) bagi tiap-tiap muslim. Lantas kewajiban tadi dipilah lagi menjadi fardhu ain, yakni yang harus diketahui per Individu dan fardhu kifayah, yang cukup diwakili oleh beberapa Individu dalam satu kelompok. Fardhu yang pertama meliputi aqidah (keyakinan), akhlaq (moral), dan fiqh (sebagai sarana beribadah). Setiap muslim wajib mempunyai bekal ilmu-ilmu ini guna mengarungi kehidupan yang selalu seimbang antara hubungan dengan Sang Pencipta dan sesama. Mudahnya, sebelum menginjak ke fardhu kedua yang lebih banyak berupa wawasan, kita dituntut untuk membentuk karakter positif terlebih dahulu.  Baru ketika sudah dipenuhi kita tambah wawasan untuk kian menajamkan otak dengan ilmu-ilmu fardhu kifayah, seperti matematika, medis, fisika, ekonomi dll. Sehingga jika konsep pendidikan ini berhasil outputnya adalah pribadi-pribadi yang beriman, bermoral dengan intelektual cemerlang.
Lantas melihat realita dunia pendidikan Indonesia seperti ini, adakah lembaga yang memakai konsep pembentukan karakter ala al Ghozali dan az Zarnuji ini?
Jawabannya ada. Justru tempat yang kita sekarang kita tinggali ini (pesantren) yang secara garis besar sudah berhasil membuktikan keberhasilan metode ini. Ini bisa dilihat dari santri yang srawung dengan masyarakat lain. Di mata orang, santri adalah sosok religius, sopan, nggak neko-neko, pokoknya berpribadi luhur, walau intelektualnya bisa dikatakan ketinggalan.
Ada beberapa poin yang menjadi ciri khas pesantren dalam menerapkan pendidikan karakter ini. Pertama, memakai sistem asrama. Karena kebanyakan mereka berasal dari luar daerah. Dengan sistem ini, pengontrolan, yang meliputi perkembangan, kegiatan, juga kelakuan, kepada santri lebih efektif. Dengan demikian lingkungan kodusif dapat tercipta dengan baik yang nantinya penanaman karakter positif dapat dengan mudah  dilakukan
Kedua, nilai kebersamaan. Karena terbiasa hidup dalam satu atap dengan orang yang berbeda-beda, jiwa social santri lebih tinggi. Tanpa membeda-bedakan kaya atau miskin, desa atau kota, Batak atau Jawa, semua dapat hidup rukun dalam satu naungan. Tak heran banyak orang yang dulunya pernah merasakan kehidupan pesantren dan sekolah umum, menilai bahwa masa yang paling berkesan ketika muda adalah ketika mondok, bukan saat sekolah. Karena bukan saja kenangan manis yang diciptakan pesantren. Ada bermacam rasa yang kian mempengaruhi pembentukan karakter ini
Ketiga, kuatnya ikatan guru dengan murid. Guru atau kiai adalah sosok panutan yang harus dihormati oleh para santri. Bukannya gila hormat, tapi lebih untuk menanamkan sikap menghormati kepada yang lebih tua, lebih-lebih yang telah mengajarkan ilmu kepadanya. Hal ini lagi-lagi dikarenakan hidup dalam satu lingkungan, ditambah lagi wejangan dari kiai yang kian memantapkan hati untuk menjadi santri seutuhnya.
Keempat, peraturan yang tegas dan fleksibel. Sudah menjadi asumsi umum bahwa di pesantren sering terjadi penghukuman yang nyata bagi santri-santri yang bermasalah. Istilah kerennya takzir. Hukumannya pun bisa dibilang jarang ditemukan di masyarakat, seperti gundul, guyur, membaca wirid dll. Dan yang mengherankan, sang tersangka juga mau diperlakukan seperti itu, walau kadang terbetik marah di dada.
Tujuan dari takzir sendiri selain membuat efek jera secara kasat mata, juga menghilangkan kotoran batin, apalagi jika dijalani dengan penuh kesadaran akan kesalahannya. Di masyarakat mana ada proses hukum demikian? Kalaupun ada malah lebih brutal dan kurang bisa menyadarkan pelaku.
Kelima, orientasi jangka panjang (akhirat). Dalam hal ini yang menjadi tujuan utama santri nantinya ketika lulus dan terjun di tengah masyarakat bukan keuntungan materi. Namun lebih dituntut bisa memberi ruang dalam hatinya untuk tabungan akhirat.
Keenam, pemimpin yang berkualitas (kiai). Inilah yang menjadi pokok maju mundurnya pesantren. Sosok kiai menjadi panutan dalam setiap tingkah laku yang nantinya ditiru dan menjadi karakter santri. Dan pada umumnya kiai memang berkarakter positif, yakni bermoral serta spiritual kuat.
Dengan kiai dan santri yang berkarakter terbukti pesantren dari dulu hingga sekarang tetap eksis dijadikan basis keagamaan yang tak goyah oleh derasnya gelombang globalisasi yang mulai menggerogoti segala aspek kehidupan. Dari dulu hingga kini pesantren tidak berubah, bukannya kolot dan kaku, melainkan karena kuatnya pendidikan karakter yang diciptakan sehingga tak mudah terkontaminasi oleh hal-hal negatif dari luar.
Nah, bukankah sebenarnya pendidikan karakter yang selama ini dikoarkan pemerintah sebenarnya sudah (ada yang) terlaksana? Namun dari kesemua tulisan di atas semua tetap kembali ke pribadi masing-masing. Tinggal bagaimana kita sebagai anak bangsa menyikapinya, apakah akan meneladani, cuek atau bahkan acuh.
Writing byMuh. Aminullah
Lirboyo, 22 Juni 2011