Takdir, Dicari atau Diterima?


Takdir adalah keputusan Tuhan yang tidak dapat ditolak oleh manusia. Tidak ada satu pun makhluk yang dapat merubahnya. Lantas, tidak bolehkah kita mengupayakan takdir baik pada diri kita sendiri?
Baik maupun buruknya suatu takdir, adalah bentuk keputusan Tuhan yang tak dapat disangkal kedatanganya. Kapan dan siapa pun yang mencoba untuk merubah, takdir tak akan pernah berubah. Itulah takdir Tuhan. Seperti kata Ahmad Dhani,  “Tak ada yang bisa merubah dan tak akan pernah berubah.”
Dalam bahasa Indonesia, ada kalimat yang hampir sama (kalau tidak boleh dikatakan sama) kedahsyatanya dengan kalimat ini,  nasib. Kedua kalimat ini cukup populer dikalangan umum sebagai sebuah hambatan akan kemajuan maupun kesuksesan seseorang. Bahkan  dewasa ini -diakui atau tidak- hal yang sama juga telah merambah kekomunitas kita.
Ketika seorang yang berjuang dan belum berhasil, (Gagal; dalam bahasa mereka) dengan suara yang memelas, orang di sekitarnya akan mengatakan, “Sudahlah terima saja nasibmu. Kamu nggak bisa melawan takdir. Sudah nasibmu jadi orang susah. Nggak usah neko-neko.” kata-kata ini keluar begitu saja seolah-olah mereka sendiri yang membuat takdir itu.
Saking dahsyatnya, ketika mendengar kata takdir, kebanyakan manusia berhenti, alias vakum. Tidak berani berbuat apa-apa lagi. Kecuali mereka yang memang benar-benar melawan takdir dan sedikit orang yang berfikir positif tentang  takdir.
Hal ini sebenarnya bukan sebuah kekeliruan murni, mengingat bahwa keyataanya kita tidak boleh menentang takdir. Dan kesia-siaan belaka adanya. Karena tak lain menetang takdir juga berarti menentang Tuhan Yang Maha Kuasa atas segalanya.
Dalam berbagai hal, kadang kita justru terjebak dalam kondisi ini. Kita memvonis, semua yang terjadi kepada diri kita adalah sebuah takdir yang kedepanya tak mungkin dirubah lagi. sementara melawannya merupakan hal yang tabu. Seakan tidak sadar ketika lapar kita harus makan, tatkala sakit kita harus berobat, juga merupakan perlawanan terhadap sesuatu yang akan terjadi pada diri kita.
Kita bahkan dilahirkan dalam keadaan bodoh, lalu diperintahkan untuk belajar. sehingga tak layak, bila kita berusaha dalam sesuatu yang belum terjadi disebut menentang takdir. Lalu dengannya kita akan merasa ciut dan takut untuk berbuat sesuatu. Memilih  untuk diam, dengan alasan yang tak logis; menuduh kepada takdir.
Tanpa di sadari bahwa hal ini adalah penyebab keputusasaan. Sudah menjadi barang maklum tentunya, hal itu juga merupakan larangan yang sangat dikecam.
Sayidina Umar pernah ditanya oleh Shahabat Abu Ubaidillah bin Jarrah, “Mengapa tuan lari dari takdir Tuhan?” Sayidina Umar menjawab, “Betul, saya lari dari takdir Allah untuk pergi ketakdir-Nya pula.” Yang dimaksud adalah bahwa beliau lari dari takdir tibanya penyakit thoun dan mara bahayanya untuk menuju takdir sehat wal afiat. Syekh Abdul Qodir al-Jailaniy bahkan menuturkan, “Seorang tokoh adalah orang yang melawan qodar, bukan cuma pasrah pada qodar.”
Dari sini bisa ditarik kesimpulan bahwa tidak semua hal bisa diartikan sebagai perlawanan takdir. Atau perlu kesadaran tentang usaha kita sebelum mengatakan semua sudah takdir (yang kedepannya tak dapat dirubah) serta menyadari ketidaktahuan kita pada takdir yang akan berlaku pada diri kita nanti.
Akhirnya kita harus mengakui, takdir memang tak dapat dirubah. Karena kita tak bisa mengubah masa lalu. Let’s gone be by gone.  Yang lalu telah berlalu, tak mungkin berubah. Itulah takdir masa lalu. Namun pada dasarnya kita dapat merencanakan masa depan kita, karena kita tidak akan pernah tahu bagaimana takdir kita nanti. Baik buruknya sesuatu belum layak dikatakan sebagai takdir –yang merupakan akhir segalanya-  sebelum semuanya terjadi.
Benar, semua yang telah terjadi adalah takdir Allah. Sehingga dari berlalunya satu takdir kita bisa mengambil hikmahnya. Kita bisa membaca cerita-cerita orang-orang zaman dulu, untuk pembelajaran kepada kita tentang Sunatullah yang telah berlaku.
Yakni orang orang sukses adalah orang yang terus menerus berusaha, meski berulang kali mengalami kegagalan. Dan seorang pecundang adalah mereka yang mudah merasa kalah dengan adanya sedikit penghalang atau ujian.
Oleh karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di masa mendatang, sepantasnyalah kita memaksa diri kita terlebih dahulu untuk berusaha maksimal, dalam menggapai semua keinginan. Berhasil atau tidaknya baru kita serahkan kepada Allah. Pasrah disinilah yang kita kenal dengan istilah tawakal.
Tawakal adalah totalitas kepasrahan setelah adanya usaha yang maksimal. Tanpa usaha kepasrahan tidak dapat disebut sebagai tawakal. Melainkan keputusasaan yang disembunyikan atau tidak diakui. Seolah hal itu bukan keputusasaan.
Bagaimana tanggapan Nabi kepada seorang sahabat yang tidak mengikatan ontanya, dengan alasan bertawakal, merupakan cerita yang mashur. Beliau Nabi menyuruh mengikatnya dula baru bertawakal.
 Namun dalam prakteknya masih jauh dari yang diharapkan. Kebanyakan suatu yang sudah diusahakan namun belum berhasil dianggap sebagai kegagalan. Bukan difahami sebagai sebuah proses dalam meraih kesuksesan itu.
Bahkan terlalu takut untuk melihat masa yang akan mendatang. Meski  semua itu masih jauh dalam hayalan. Sayangnya hal itu malah yang diartikan sebagai takdir. Padahal bayangan jelek tentang masa depan itu dibuat-buat sendiri.
Yang mungkin benar-benar perlu kita sadari, –tidak cuma sekedar sadar- kita bukan dari kaum Qadariyyaih yang menganggap bahwa semua yang di kerjakan manusia adalah berdasarkan kemampuan manusia itu sendiri, tanpa campur tangan Tuhan.
Kita bukan kaum Jabbaariyyah yang menganggap bahwa apapun yang dilakukan manusia adalah sebuah keterpaksaan belaka. Manusia tak ubahnya wayang di tangan sang dalang. Apapun yang terjadi, tidak ada sangkut pautnya lagi dengan wujud wayang itu sendiri. Tidak mempunyai kehendak apalagi kekuatan untuk mewujudkan sesuatu.
Kita juga bukan orang yang setengah-setengah, yang merasa kalah dan tidak mampu ketika gagal. Lalu putus asa dan dengan mudahnya mengatakan semua sudah takdir. Dan menyombongkan diri ketika menuai keberhasilan. Melupakan adanya peran Tuhan di sana.
Kita adalah kaum suni, yang sama sekali tidak sama dengan keduanya. Kita boleh mengambil konsepnya Imam Al-As’ariy, yang berpendapat segala sesuatunya memang merupakan takdir Allah. Bukan berdasarkan kehendak dan kemampuan yang telah dianugrahkan kepada kita. Namun juga bukan berarti kita tidak mempunyai andil sama sekali terhadap sesuatu yang kita lakukan.
Menurut konsep beliau, kita melakukan sesuatu besertaan dengan Allah menjadikan sesuatu berdasarkan yang dikehendaki-Nya. Agak sedikit beda dengan konsep beliau, Imam Al-Maturidiy berpendapat bahwa kita melakukan sesuatu dengan kekuatan kita yang telah dianugerahkan Allah.
Allah, dalam menjelaskan bahwa kejadian buruk yang menimpa –dalam Tafsir al-Jalalain ditafsiri, kejadian baik pula- semua sudah tertulis, berfirman, “likailaa ta’sau ‘alaa maa faatakum walatafrahuu bimaa ataakum.”
Jelaslah sudah semua kejadian yang memakasa untuk dilalui (takdir), adanya bukan sesuatu yang harus ditafsiri sebagai penghalang kemajuan manusia. Melainkan sebagai peringatan bahwa sekuat apapun manusia takkan kuasa melawan takdir. Oleh karenanya tidak layak bagi makhluk yang lemah merasa mempunyai segalanya. Untuk berduka atau  bahagia sekalipun.
Semua yang telah terjadi kepada manusia disebut sebagai takdir adalah sebuah kenicayaan. Memang itu adanya. Namun positif thinking juga diperlukan. Hari esok masih terus berputar, untuk memperbaiki semua yang telah terjadi hari ini. Takdir hari kemarin adalah titik akhir jalanya hari kemarin. Tak satu pun manusia dapat mengubahnya. Namun bukan berarti sebagai Ending untuk hari ini atau besok.
Tetap menyandarkan keyakinan kepada Allah, bahwa semua Dia yang mengatur. Tinggal ber-husnudhan kepada-Nya, semua adalah bentuk perjalanan untuk menggapai segala keinginan. Husnudhan kepada Allah (yang berarti juga kepada takdir-Nya) adalah upaya terbaik dalam menanggapi berbagai problema kehidupan.
Dalam Hadits Qudsi bahkan Allah berfirman, “Anaa ‘inda dhani ‘abdi bii.” Tak heran bila ada seorang psikolog bertutur, “You can if you think you can.” Kamu mampu kalau kamu berfikir kamu mampu.
Mungkin yang layak untuk dipersempit adalah pilihan kita. Bukan kegigihan kita dalam menghadapi problem yang kita pangkas. Layaknya semboyan orang  zaman dulu tatkala berperang, ‘Hidup mulia atau mati syahid’.
Yang coba kita terjemahkan dengan, “berhasil atau dikalahkan kematian.” Ketika gagal (belum berhasil) kita harus yakini bahwa itu koma. Kita hanya perlu berhenti sejenak, untuk tarik nafas, kemudian kita lanjutkan lagi sampai titik, yang setelahnya tidak ada koma lagi.