The Fenomenon of Love


Manusia sekarang jelas sangat berbeda dengan manusia zaman dulu. Saking jauhnya, bisa diibaratkan langit dan bumi. Perubahan moderat menuntun ke zaman kemunduran Insan masa kini. Tapi bukankah hal yang maklum, bahwa kurun yang semakin akhir akan semakin mengalami kemunduran? Sebaik-baik kurun adalah kurunnya Nabi Muhammad Saw., kemudian kurun yang mengiringinya (sahabat), kemudian yang mengiringinya (tabi’in), dan seterusnya. Sedang kurun kita sudah terlalu jauh dari mereka.
Meski perkembangan zaman dan peradabannya semakin maju, toh tidak bisa menghasilkan insan-insan berkualitas sekaliber tokoh-tokoh Islam masa lalu. Jangankan untuk mengimbangi sahabat-sahabat Nabi, untuk mengimbangi Ulama mutaakhirin saja tak akan mampu. Bagaimana beliau-beliau mampu menghafal al Qur’an di saat usianya yang masih belia, mampu menghafal beribu-ribu hadits, dan lain-lain yang tak mampu diimbangi oleh generasi sekarang ini?
Degradasi moral turut memporak-porandakan keteguhan insan dalam menuntut ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi tak ketinggalan mengubah cara pandang mereka dari berbagai aspek. Modal terakhir ini yang membuat sekat antara lawan jenis semakin terbuka. Percintaan yang belum saatnya pun mulai mereka rambah. Meski kadang hanya sebuah permainan dan kepura-puraan belaka.
Kita tahu pendahulu-pendahulu kita tidak tergila-gila dengan cinta. Dalam arti, tak terlalu memikirkan masalah wanita saat menjalani masa belajarnya. Cinta ilmu bagi mereka diletakkan di atas cinta terhadap seorang wanita. Bahkan tatkala wanita itu telah berstatus menjadi istrinya.
Fenonema Cinta
Membicarakan cinta tak akan ada habisnya. Lebih-lebih kaum muda zaman sekarang. Mereka begitu bersemangat jika membicarakan cinta. Misteri cinta sangat sulit untuk ditebak. Lalu apa hubungannya cinta dengan zaman dahulu?
Yang kiranya perlu diperhatikan adalah model orang-orang terdahulu dalam bercinta. Mereka tidak mengedepankan perasaan (cinta) saat belum menjadi halal baginya. Dan apa yang mereka lakukan ternyata membawa keutuhan cinta mereka sampai akhir hayat dalam bingkaian mahligai rumah tangga. Sedangkan madzhab khalaf  yang diusung dari barat –yang juga banyak diikuti orang sekarang, ternyata tak dapat menunjukkan bahwa percintaan (pernikahaan) ala zaman sekarang mampu menjaga keutuhannya.
Bagi orang dulu cinta tidak dibiarkan tumbuh sebelum waktunya. Konsep cinta bagi mereka tak jauh dari konsep cinta orang jawa.”Tresno jalaran soko kulino.”  Mereka meyakini bahwa cinta akan tumbuh dengan sendirinya tatkala mereka ditakdirkan untuk bersama. Tidak seperti orang sekarang yang menghabiskan waktu demi mengejar-ngejar cinta yang sebenarnya belum mereka ketahui hakikatnya.
Model Cinta Masa Kini
“Cinta pandangan pertama,” adalah salah satu model yang dikenal dalam konsep cinta ala madzhab kholaf. Bagaimana cinta pandangan pertama diagung-agungkan oleh insan zaman sekarang. Mereka sok  tahu akan anugerah yang bernama cinta. Meski sebenarnya mereka buta. “Cinta pandangan pertama” diartikan sebagai cinta yang murni.  Murni anugerah dari Yang Maha Kuasa yang diturunkan untuk mereka. Sehingga cinta model ini tidak mengenal alasan mengapa mereka jatuh cinta. Yang ada –dengan sok  tahunya, semua adalah anugerah atau takdir yang harus diterima.
Pro-kontra “Cinta tak harus saling memiliki” adalah bahan pembicaraan berikutnya. Namun secara praktek, mereka ternyata sama. Mereka bahkan menghalalkan segala cara untuk memiliki orang yang mereka cintai. Hanya sedikit yang dapat menerima bahwa mereka mungkin tak diciptakan untuk hidup bersama.
Cinta bagi mereka tetap harus memiliki. Memiliki seutuhnya pasangan mereka. Padahal kita tahu bahwa hakikat dari memiliki itu sendiri adalah penguasaan. Dengan arti yang lebih ekstrim, cinta harus saling menguasai. Saling membatasi. Bukankah seharusnya cinta itu menjadikan kelonggaran saat semua terasa terlalu sempit?
Dalam kelanggengan cinta, model cinta zaman sekarang –baik secara teori atau pun praktek, sebenarnya tidak dapat membuktikan kemurnian cinta itu sendiri. Kita bisa lihat begitu banyak kasus perceraian saat ini. Meski mereka sendiri yang menetukan pilihan bersama siapa mereka akan menjalani hidup.
Secara teori, cinta yang mereka agung-agungkan hanya mandek sebagai media untuk menjalani prosesi pernikahan. Sehingga dengan sendirinya cinta itu akan dengan mudahnya luntur. Begitu pernikahan tercapai, dua atau tiga tahun kedepan tak ada lagi rasa cinta di antara mereka.
Yang disayangkan lagi, mereka tak menyadari itu. Terlepas dari benar atau salah, pembahasan di atas hanya opini penulis. Bagaimana yang terjadi dengan anda? Tentu anda sendiri yang lebih tahu.}{[]