Tanggal 18 Desember 2010 kemarin, seluruh dunia memperingatinya sebagai hari migran. Dimana pengorbanan dan perjuangan kaum buruh adalah keniscayaan untuk dihargai. Dunia menghargai mereka. Eksistensi bangsa, bahkan dunia, takkan lepas dari mereka. Dunia tahu itu. Entah untuk Indonesia?
Perlakuan kejam terhadap TKI yang kerap mewarnai media masa menunjukan bahwa semua itu tak berlaku untuk Indonesia. Dari tahun ke tahun, polemik TKI tak ada habisnya. Terakhir, sebelum tulisan ini dibuat, penderitaan Sumiyati dan Kikim menjadi bukti paling mengenaskan setelah sekian lama polemik itu muncul. Seolah semua itu sudah menjadi sebuah kebiasaan. Tak perlu lagi perhatian khusus atau tindakan yang lebih serius. Tanpa bermaksud su'udhan, tampaknya memang demikian tanggapan pemerintah.
Penanganan pemerintah dalam masalah ini nampaknya masih main-main. Dari sekian banyak berita yang disuguhkan oleh wartawan, tak ada satu pun yang sudah jelas-jelas clear. Belum lagi yang tidak sampai terekspos oleh mereka. Kita ambil contoh WNI yang berkeliaran di Jeddah –yang notabene bekas TKI, tampaknya pemerintah tak mau tahu soal keinginanan mereka untuk pulang ke kampung halamanya.
Kalau seandainya mereka tidak sengaja menutup mata dan telinga mereka, kondisi itu sebelum di wartakan oleh media niscaya lebih dulu sampai ke telinga mereka. Sebab ada kedutaan besar RI yang di sana. Bukankah mestinya mereka lebih tahu jauh-jauh hari sebelum wartawan datang ke sana? Bahkan dari pengakuan gelandangan, bekas TKI di sana, pernah ada yang mengadu ke KBRI, namun tanpa tanggapan yang berarti.
Padahal semestinya perlindungan itu tak harus adanya permintaan atau kabar yang menyesakkan dada ini. Paling tidak sesemangat mereka kampanye saat pemilu. Kenapa mereka hanya ada ketika mereka diperlukan. Dan dianggap tak ada ketika sudah tidak dianggap perlu lagi.
Jasa Harus dibalas dengan Jasa
Pemerintah lebih mengedepankan pandangan mereka, bahwa TKI adalah bisnisnya PJTKI. Lebih mengenaskannya lagi, dari 560 PJTKI yang terdaftar hanya 36 persen yang berkinerja baik. Selain pandangan picik itu, pemerintah juga kontruksi negatif dengan menyebut mereka sebagai pekerja tak berketerampilan. Sehingga mereka merasa terbebas dari tanggung jawab dengan menyandarkan ketidak terampilannya TKI.
Dengan begitu banyaknya kasus yang terjadi di lahan yang mereka tempati, rupanya tak bisa mengembalikan mereka untuk berfikir secara implisit untuk melindungi hak-hak warga negaranya.
Tanpa malu mereka seolah tak pernah menikmati hasil remitasi dari para Pahlawan Devisa itu. Padahal Nilai kiriman uang (remitansi) dari Tenaga Kerja Indonesia (TKI) sampai dengan akhir September 2010 lalu mencapai US$ 5,03 miliar.
Melihat begitu banyaknya in come yang dihasilkan oleh para "pahlawan devisa", mestinya kesejahteraan untuk mereka lebih dari sekedar mengakui saja. Realita dilapangan seperti itu, masih ada TKI atau TKW yang keleleran di negara-negara penyelenggara lahan tenaga kerja. Sudah semestinya seperti dari apa yang didapatkan pemerintah, mereka juga mendapatkan imbal balik yang selayaknya. Karena para buruh TKI juga membutuhkan perlindungan yang lebih intensif lagi dalam kesehariannya.
Melihat kinerja pemerintah yang sudah berjalan saat ini, saya rasa semua terfokus pada kurang koordinasinya pemerintah dengan Negara penyelenggara tenaga kerja. Andaikan instansi pemerintah yang terkait mau lebih tegas lagi, mestinya bisa menekan Negara-negara yang membutuhkan tenaga kerja Indonesia untuk lebih memperhatikan TKI. Andaikan itu tidak bisa terwujud, kita bisa mengancam mereka untuk menarik semua tenaga kerja kita dan dialokasikan ke Negara lain yang lebih tegas dan disiplin dalam urusan perlindungan tenaga kerja asing.
Sebagaimana usulan presiden RI tentang apa yang menimpa pada TKI dengan memfasilitasi telphon genggam kepada seluruh pekerja. Mestinya, instansi pemerintah yang langsung bersinggungan dengan urusan ini harus lebih cepat tanggap dan bijak dalam menangani permasalahan. Segera sosialisasikan hal tersebut dengan Konsulat atau KBRI yang terdapat TKI. Kalau saja usulan dari presiden tidak bisa terealisasi dengan intens, cari solusi lain yang sekiranya memberikan dampak positif pada TKI. Setidaknya beban psikologi yang mereka rasakan bisa sedikit berkurang.
Nah, andaikan proyek ini bisa tertata dengan apik, tentunya banyak surplus yang sama-sama akan didapatkan dari beberapa pihak, pemerintah tetap mendapatkan haknya yang berbentuk devisa dan kerjasama dengan pemerintah luar negeri lebih matang, sedangkan pekerja mendapatkan haknya berbentuk penanganan yang lebih bagus. Lebih dari itu, harga diri Indonesia akan lebih disegani di mata dunia internasional.
PR buat pemerintah sebenarnya bukan Cuma saat di luar negeri saja, di dalam negeri pun seharusnya juga diperhatikan. Hingga saat ini, masih banyak praktek pemerasan kepada para tenaga kerja kita. Baik dari biro perjalanan pulang mereka, bahkan ketika mereka berada bandara, pemeriksaan yang mereka rasakan terkesan sangat njlimet, seolah-olah dari pemeriksa meminta bagian dari apa yang didapatkan oleh para tenaga kerja tersebut.
From The People, By The People, For The People
Pantaskah mereka disebut sebagai pemimpin Negeri ini, mengingat asas terbangunnya negeri ini dengan asas pancasila? Dikemanakan kelima Sila yang telah ditetapkan untuk mewujudkan terciptanya Negara ini? Ataukah pancasila hanya dimaknai dengan formalitas saja? Selain itu UU No. 39/2004 mengenai penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia telah mengamanatkan, bahwa pemerintah bertanggungjawab untuk menjamin dan melindungi para TKI, sejak didalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal di Indonesia.
Dari para penguasa, tentunya diharapkan dapat memberi sedikit pencerahan –paling tidak mengurusi mereka yang bermasalah dengan tuntas. Termasuk mereka yang masih berkeliaran tanpa setatus di sana yang menginginkan dapat segera berkumpul dengan keluarga, dapat segera tercapai. Satu hal yang kadang mengusik hati, jangan-jangan dengan RUUK DIJ, BBM, dan yang lain, adalah cara mereka keluar dari masalah yang sedang dipertanyakan oleh masyarakat, dengan masalah yang lebih besar. Jangan pernah berfikir dengan melempar bola baru, bola lama akan ditinggalkan begitu saja.